INTELEKTUAL profetik adalah intelektual yang
memiliki misi kenabian. Ilmu yang diperolehnya ditransformasikan dalam realitas
sosial dengat spirit ilahiah. Dalam konteks ini, terjadi kolaborasi dunia
“langit” dan dunia “bumi.” Langit adalah simbol spiritual, sedangkan bumi
simbol keduniaan, kefanaan.
Siapakah intelektual profetik? Golongan ini jika
bisa diumpamakan adalah sekelompok orang yang malam harinya seperti seorang
‘abid (ahli ibadah), dan siangnya digunakan untuk mencerahkan kehidupan umat
manusia. Dalam melaksanakan misi sucinya, golongan ini tetap berpegang pada
kaidah ilahiah, kaidah universal.
Bagaimana membentuk intelektual profetik?
Golongan ini hanya bisa mewujud dalam realitas jika disertai dengan kesadaran
bahwa kita adalah makhluk Tuhan. Dia atas segalanya ada Dia Yang Maha perkasa,
yang ilmu-Nya meliputi langit dan bumi, yang kekuasaan-Nya tak terhingga.
Konsekuensi dari kesadaran ini adalah apapun yang kita lakukan – termasuk dunia
intelektual – tetaplah diawasi dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Yang
Maha Kuasa.
Secara sistematis, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk membentuk generasi cerdas ini. Pertama, membentuk kesadaran.
Kesadaran bisa dibentuk manakala ada ‘an taradhin (saling ridho) antara sang
pendidik dan yang dididik. Mana mungkin bisa terjadi keakraban, kesadaran
hingga pembelajaran ketika jiwa terancam atau ketika jiwa tidak menentu, tak
menerima.
Setelah ada keridhoan dalam mencari ilmu, maka
sang calon intelektual perlu menyadari dari ufuk kalbunya yang terdalam. Bahwa
manusia hanyalah salah satu makhluk Tuhan yang diciptakan di alam ini, dan
memiliki fungsi khalifah (pemimpin, pengganti). Sebagai pemimpin, manusia perlu
menerapkan nilai-nilai ilahiah dalam keseharian umat manusia. Termasuk juga
dalam membentuk teori ilmu pengetahuan.
Sebelum membentuk teori, sang intelektual perlu
juga mempelajari ajaran agama secara baik dan benar. Jika paradigmanya telah
baik, maka secara perlahan akan merembes pada wilayah akhlak dan cara pikir.
Cara pikir yang baik adalah yang mencerahkan, bukan yang digunakan untuk
memuaskan dahaga pribadi atau kelompok semata.
Kedua, adanya tauladan dari sang guru. “Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari,” demikian kata pepatah yang relevan
untuk itu. Seorang guru, ketua atau senior yang baik adalah yang memberi contoh
pada bawahannya. Ia adalah orang pertama yang mengaplikasikan apa yang ia
katakan. Dalam Al-Qur’an, sangatlah dibenci Allah orang yang berkata tapi tidak
melaksanakan. Konsistensi diperlukan di sini.
Taudalan yang baik telah dicontohkan banyak guru
ternama. Nabi Khidir AS adalah salah seorang itu. Berkat kedalaman ilmunya, ia
berhasil mengajarkan Nabi Musa AS arti dari ilmu. Begitu juga Rasulullah SAW
yang menjadi uswah hasanah bagi sahabatnya.
Jika mau menjadi seorang dokter, maka bergaullah
dengan dokter. Dokter yang baik adalah yang memiliki akhlak yang mulia. Dia
yang mengobati pasiennya dengan ikhlas, bukan hanya persoalan kerja semata.
Begitu juga dengan dosen yang mengajarkan ilmunya pada mahasiswa. Bukan hanya
persoalan kewajiban sebagai pegawai negeri saja, akan tetapi lebih dalam dari
itu adalah kelangsungan peradaban.
Rata-rata peradaban yang eksis adalah peradaban
yang di dalamnya ada transformasi ide dari generasi ke generasi. Menjelmanya
pohon ilmu pengetahuan dari akar menjadi batang, ranting, hingga dedaunan. Tiap
kita yang mencari ilmu, pasti berada di pohon ilmu itu. Orang yang membuat
teori diumpamakan sebagai akar, yang meneruskan kepada pohon dan seterusnya.
Keteladanan adalah salah satu kunci sukses
intelektual profetik. Semakin terpuji akhlak para guru, senior, direktur,
ketua, maka akan semakin tertantanglah sang individu menuju kesuksesan. Ada back-up
psikologis dari orang yang lebih tua. Tentunya hal itu sangat diharapkan
kebanyakan pelajar dalam wilayah apapun.
Ketiga, perlu adanya kelompok kecil yang intensif
(intensif small group). Usahakan jangan sampai pengkaderan hanya
berhenti pada wilayah formalitas. Paling lama pengkaderan kita seminggu.
Biasanya ada juga orang yang langsung berubah paradigmanya menjadi baik. Akan
tetapi, selanjutnya? Tidak ada jaminan ide yang baru saja diterimanya akan
terus terpahat dalam dasar hati. Bisa saja hilang atau diletakkan dalam sudut
ruangan lagi gelap.
Kelompok kecil ini bisa kita contoh dari gerakan
Rasulullah ketika mengadakan pengajian di rumah Al-Arqam Bin Abil Arqam. Ketika
itu, beberapa anak muda progressif revolusioner dididik secara
kontinyu oleh baginda rasul. Akhirnya, alumninya menjadi tokoh dan daya
saingnya luar biasa!
Begitu juga dari Mesir. Al-Ikhwan Al-Muslimun –
didirikan Imam Hasan Albanna – berhasil mencetak para aktivis sekaligus
intelektual, tanpa over generalisasi. Mereka bukan hanya cerdas secara ruhaniah
(transcendental intelligence), akan tetapi juga secara spiritual, jauh
sebelum Ian Marshal dan Danah Zohar mengeluarkan bukunya Spiritual Quotient
(SQ).
Ketiga aspek di atas meliputi kesadaran personal,
perlunya pembimbing dan lingkungan. Menurut penulis jika tiga hal diatas
dilaksanakan dengan baik, maka akan membentuk intelektual kita, intelektual
profetik. Sadar akan dirinya dan berjuang menyadarkan orang lain.
Tak ada salahnya kita semua – dalam bidang apa
saja – mencoba. “Jika kita berusaha menjadi lebih baik dari diri kita sekarang,
semua yang ada di sekeliling kita pun menjadi lebih baik,” demikian kata Paulo
Coelho dalam buku klasiknya Sang Alkemis yang bestseller internasional itu.
Maka jika sekeliling kita telah berubah baik, tidak menutup kemungkinan bangsa
kita akan berubah menjadi baik.
Ary Nugraha
Ketua Umum HMI Cabang Pekanbaru
Terbit di kitanews.co