Pendidikan merupakan hal yang lumrah
dan wajib dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, melihat kondisi sosial yang ada
di dunia kampus, banyak hal-hal yang membuat saya risih melihat keadaan pendidikan
yang ada. Sejatinya, tujuan pendidikan adalah bagaimana memanusiakan manusia.
Akan tetapi, tujuan pendidikan tersebut ternyata hanyalah sebuah imaji belaka.
Hal tersebut menyebabkan banyaknya teriakan-teriakan mahasiswa, atas nama kebenaran menyalahkan sistem pendidikan kampus, melakukan demonstrasi, meronrong birokrasi.
Secara gamblang, ironisnya praktik pendidikan tidak serta-merta terjadi oleh karena pihak birokrasi. Akan tetapi, ternyata mahasiswa juga turut mengambil peran dalam hal tersebut. Bagaimana tidak? Mahasiswa terkadang melakukan intervensi terhadap mahasiswa yang lain untuk ikut serta dalam golongan tertentu. Bahkan ancaman pun silih berganti menghampiri, jika ajakan tersebut tidak diindahkan.
Hal tersebut menyebabkan banyaknya teriakan-teriakan mahasiswa, atas nama kebenaran menyalahkan sistem pendidikan kampus, melakukan demonstrasi, meronrong birokrasi.
Secara gamblang, ironisnya praktik pendidikan tidak serta-merta terjadi oleh karena pihak birokrasi. Akan tetapi, ternyata mahasiswa juga turut mengambil peran dalam hal tersebut. Bagaimana tidak? Mahasiswa terkadang melakukan intervensi terhadap mahasiswa yang lain untuk ikut serta dalam golongan tertentu. Bahkan ancaman pun silih berganti menghampiri, jika ajakan tersebut tidak diindahkan.
Melakukan pemakasaan ideologi, yang tidak semua orang bisa menerimanya. Bukankah setiap manusia memiliki naluri dalam mendeteksi hal-hal yang terbaik untuk dirinya? seperti kata Faylasuf “setiap orang punya potensi untuk menemukan suatu kebenaran.”
Setelah mengetahui hal tersebut, timbul pertanyaan dalam benak saya, faktor apa yang mendorong terjadinya intervensi ideologi dikalangan mahasiswa yg tak jarang menimbulkan konflik Laten mau pun terbuka? Setelah saya telusuri, ternyata hal tersebut tak lain dan tak bukan dipengaruhi oleh adanya Arogansi Ideologi antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Kenapa harus menjunjung tinggi kepentingan sepihak? Bukankan kepentingan bersama itu jauh lebih indah? Manusia hanya memiliki segelintir perbedaan dan memiliki begitu banyak kesamaan. Tidak perlu saling mencerca, tidak perlu saling menjatuhkan, dan tidak perlu saling menghina dengan atas nama sebuah kebenaran. Setiap manusia memiliki jalan yang berbeda untuk mencapai puncak kemaslahatan dan kebenaran.
Setiap golongan memiliki apa yang kemudian dikenal dengan istilah “Truth
Claim” atau klaim kebenaran. Golongan ini menyatakan bahwa inilah
kebenaran, golongan yang satu menyatakan bahwa itulah kebenaran. Jika hal
tersebut dijadikan sebagai rujukan intervensi, jelas merupakan suatu kesalahan.
Rasulullah SAW sewaktu memimpin Madinah menerapakan suatu sistem egaliter
(persamaan derajat), posisi muslim dengan non muslim pada saat itu, setara.
Rasulullah tidak pernah memaksakan non muslim untuk masuk ke dalam bingkai
muslim, karena beliau sadar, bahwa inti sebuah kemaslahatan adalah kebersamaan
dan keberagaman. Bayangkan, kepada non muslim saja beliau menjunjung tinggi
toleransi. Kenapa hari ini, kita yang mengaku sebagai umat beliau, sulit
menerapkan prinsip tersebut. Bahkan ketidaktoleran sering kita lakukan terhadap
saudara muslim kita sendiri.
Kemuliaan tidak diukur dari sesuatu yang kasat mata (subyektif). Tapi, diukur dari sesuatu yang abstrak (obyektif). Dalam pepatah arab dikatakan bahwa “unzur maa qiila wa laa tanzur man qaala” (lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan).
Mari kita bergandengan tangan bersama, menerapkan dan menjunjung tinggi kebersamaan, keberagaman, dan persatuan dalam menggapai puncak kemaslahatan, yang merupakan menifestasi dari tujuan bangsa dan negara kita. Bersatu membangun bangsa dan bersatu membela agama. Itulah wujud pluralitas dalam berideologi.
Kemuliaan tidak diukur dari sesuatu yang kasat mata (subyektif). Tapi, diukur dari sesuatu yang abstrak (obyektif). Dalam pepatah arab dikatakan bahwa “unzur maa qiila wa laa tanzur man qaala” (lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan).
Mari kita bergandengan tangan bersama, menerapkan dan menjunjung tinggi kebersamaan, keberagaman, dan persatuan dalam menggapai puncak kemaslahatan, yang merupakan menifestasi dari tujuan bangsa dan negara kita. Bersatu membangun bangsa dan bersatu membela agama. Itulah wujud pluralitas dalam berideologi.