Bila
kita membahas ibu negara,
maka terbayang adalah istri-istri orang nomor satu di sebuah negara. Dia bisa
istri presiden/perdana mentri atau malah istri raja.
Permasalahan
terbesar adalah kalau istri si presiden/raja tidak cuma satu, tetapi ada
beberapa. Siapakah yang dipercaya sebagai ibu negara? Yang ‘tertua’?Bergantian
tergantung kebutuhan urusannya?
Misalnya
kalau hanya urusan gunting pita tokh, tanpa kata sambutan dipercayakan ibu
negara A, sementara kalau mesti memberi kuliah tamu di sebuah universitas
ternama si pemimpin mengirim ibu negara yang rada intelektual, misalnya
pentolan ‘miss-miss-an’ negara tersebut?
Latar
belakang ibu negara ini pun sangat menentukan berlangsungnya sebuah negara. Kalau
dia berlatar belakang orang birokrasi nan terstruktur, maka negara tersebut
pasti akan ikut berkembang secara berstruktur dan tertata rapi, tetapi kalau
ibu negaranya yang senangnya arisan melulu, maka negara pun akan terpengaruh
dikelola secara arisan keluarga.
Masa
menjabat juga menentukan, kalau kepala negara yang hanya dibatasi 5-10 tahun,
maka si ibu negara biasanya harus ‘bergerak cepat’ membangun jaringan dan
memanfaatkan segala peluang dalam waktu relatif singkat, namun jika ibu negara
tersebut berlaku seumur hidup, maka biasanya kesannya lebih ’slow’ dalam
memanfaatkan peluang-peluang usaha/kegiatan sosial selama si raja menjabat.
Yang
susah adalah naluri ‘ibu-ibu’ selalu ingin mengurusi apa yang tidak beres di
rumah. Dan kalau negara sudah dianggap si ibu rumahnya, maka dia pun akan turut
aktif mengurusinya sana-sini, bahkan terkadang tanpa koordinasi dulu dengan
suaminya yang kepala negara.
Jadi
jangan heran kalau ada ‘kerjaan’ besar diurusin oleh si ibu negara dan
teman-temannya yang suaminya sendiri tidak tahu menahu.
Bila
kita membahas negara ibu, ini
kalau si anak punya ibu warga negara asing.
Kenapa
harus mereka tahu dimanakah negara ibu? Sebab mungkin saja si ibu tidak mau
jadi warga negara suaminya karena bisa saja suatu saat nanti mereka cerai, atau
si ibu masih cinta keluarganya di negeri asal dan ingin dikuburkan di sana.
Apalagi
kalau Negara ibu sebuah negara yang makmur, sementara negara si ayah
terancam bangkrut, bisa-bisa si anak diajak kembali ke negara ibunya saja
daripada tenggelam di negara asal ayahnya.
Nah,
terakhir, apa itu negara ibu-ibu?
Ini
adalah bentuk negara yang walaupun kepala negaranya laki-laki, semua mentri,
dewan, hakim dan pegawai tinggi didominasi laki-laki, tetapi arah pembangunan
ekonomi, sosial, hukum apalagi politiknya tergantung dengan suasana hati
ibu-ibu.
Misalnya
ada koruptor tertangkap, tetapi dia terkenal sayang istri, santun dengan wanita
maka ibu-ibu di negara itu akan meminta hukumannya diringankan.
Beda
kalau seorang koruptor terkenal tukang main perempuan dan suka melecehkan
wanita, maka akan banyak demonstrasi supaya si koruptor ini dihukum berat.
Program-program
yang tidak pro wanita juga akan ditentang dan kurang populer, tetapi program
kerja yang sangat memanjakan wanita akan didukung.
Kalau
sudah seperti ini maka benar apa yang sudah disampaikan oleh pujangga lama:
Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut di sudut kening…wanita…
@bungarynugraha