Soe memang bukan sembarang anak muda. Ia jauh
dari tipikal “mahasiswa bergaya ternak,” sebuah istilah budayawan Emha Ainun
Nadjib untuk mahasiswa yang tujuannya semata-mata bisa kuliah dengan
tenang,lulus dengan angka-angka memuaskan, kerja di perusahaan-perusahaan mapan
lalu “bahagia dunia akhirat” dalam ikatan pernikahan. Ia memang anak muda yang
luar biasa. Bukan saja untuk ukuran saat itu,tapi juga saat ini, ketika
kebenaran hati nurani banyak dipertaruhkan.
Dan tentu saja,seseorang yang hebat seperti
Soe,tidak menjadi begitu saja. Pastinya semua prinsip yang ia miliki,dibangun
lelaki penyayang binatang itu dari sejak remaja. Simaklah kisah pemberontakan
pertama remaja Soe. Suatu hari akibat mendebat seorang guru sastra di
sekolahnya,nilai ulangan lelaki Hokian itu ditahan.
Terhadap praktek ketidakadilan itu, Ia meradang
dan berniat melakukan koreksi habis-habisan terhadap sang guru, ”Guru yang
model gituan.Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan
dewa dan selalu benar.Dan murid bukan kerbau,”tulis Soe dalam catatan hariannya
tertanggal 8 Februari 1958.
Kejadian itu menjadi titik yang kian membesar.
Kamarahan seorang remaja berubah menjadi kemarahan seorang rakyat kepada para
pemimpinya kala suatu hari di bulan Desember 1959, ia menemukan seorang
penduduk Jakarta yang kelaparan makan kulit mangga dari tong sampah.Sambil
memberikan semua uang jajannya kepada si pemakan kulit mangga itu, diam-diam ia
marah. Kali ini bukan kepada sang guru sastra,tapi kepada Presiden Soekarno dan
kawan-kawan seperjuangannya.
“Mereka yang telah mengkhianati apa yang dulu
mereka perjuangkan,harus ditembak mati di Lapangan Banteng,”tulisnya keras.
Dan kemarahan Soe terbukti bukanlah letupan yang
bersifat sesaat. Ternyata ia memegang erat itu. Semua orang mafhum jika sejak
1963,ia telah menjadi salah seorang pemimpin perlawanan mahasiswa Indonesia
terhadap Soekarno dan dominasi PKI. Berbekal semangat idealisme, Soe memimpin
kawan-kawannya untuk turun ke jalan. Tidak cukup berteriak, dalam sebuah
demonstrasi di muka Istana, ia pernah nekad menghadang panser tentara dengan
tidur terlentang.
Prilakunya itu seolah menyiratkan semangat yang
ditulisnya dalam 3 bait puisi:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Tapi Soe bukan sekadar demonstran yang hanya
pandai berteriak dan menuruti apa kata korlap (koordinator lapangan) semata. Ia
pun seorang anak muda yang gila membaca, pandai menulis dan berpikir .
Artikelnya menyebar di berbagai surat kabar nasional saat itu. Isinya,apa lagi
jika bukan kritik keras (bahkan dalam beberapa kesempatan ia langsung menunjuk
hidung) terhadap segala bentuk ketidakadilan.Bukan saja ketidakadilan buat
pihaknya, tapi juga ketidakadilan yang kelak dilakukan oleh sekutu politiknya
(baca:tentara).
Dalam sebuah artikelnya ia mengecam pembantaian
ratusan ribu anggota PKI,yang justru saat itu berposisi sebagai musuh
politiknya. Dia menulis: “Jika mereka memang bersalah,adililah mereka dan hukum
(kalau perlu hukuman mati),tetapi yang tidak bersalah supaya dibebaskan. Mereka
adalah manusia,punya istri, anak,orangtua dan sahabat yang
mengharap-harapkannya.”
Soe memang seorang humanis dalam garis yang tak
mengenal batas-batas. Ia seorang yang jujur dan berani. Dan juga mengerikan,
kata almarhum Nugroho Notosusanto. Mengapa? Karena jika ia sudah memiliki
prinsip,maka dengan prinsipnya tersebut Soe akan maju lurus tanpa kompromi.
“Maka seringkali ia bentrok karena dianggap tidak taktis,”tulis karib Soe yang
belakangan menjadi salah satu sekrup rezim Orde Baru tersebut.
Karena konsistensi, kejujuran sekaligus “kegilaannya”
tersebut menjadikan saya sangat menghormati dan mengagumi Soe.Kendati demikian,
semua itu tidak lantas membuat saya menjadikannya sebagai “berhala” dalam hidup
saya. Sebagai manusia, tentu saja ia juga punya banyak kelemahan.
Kelemahan Soe,salah satunya adalah ia mendambakan
mati muda (yang ternyata terkabulkan). Apa artinya idelalisme jika ia seolah
“tidak berani” mengotentikan semua diyakininya di masa tua? Bukankah itu
seperti tindakan melarikan diri dari masalah? Lelah untuk bertempur? Untuk soal
ini,saya justru sangat kagum kepada Soe Hok Djin (Arief Budiman) –saudara Soe
Hok Gie--yang menurut saya jauh lebih teruji sebagai seorang idealis hingga
kini.
Hari-hari ini, Soe banyak digandrungi khalayak.
Saya sering melihat foto Soe yang sedang duduk di tringulasi Gunung Pangrango
dalam gaya Buddha, menghiasi kaos oblong yang dikenakan anak-anak muda saat
ini. Tapi bagaimana persisnya mereka mengetahui dan melihat sosok Soe, saya
sama sekali tidak tahu. Yang saya tahu, sejak hidup Soe difilmkan Riri Riza,
sosoknya seolah larut terbawa dalam gemuruhnya budaya pop. Sama halnya seperti
nasib Che Guevara,Si Revolusiener Gondrong yang setelah gugur,sosoknya justru
dieksploitasi habis-habisan oleh kapitalisme.
Iseng-iseng, suatu hari, saya pernah bertanya
kepada seorang mahasiswa perempuan (yang tak lain adalah kerabat saya sendiri)
: Apa yang anda bayangkan dari sosok Soe? Jawabnya mengejutkan dan bikin sedih:
“Dalam bayanganku,Soe itu seperti Nicholas (Nicolas Saputra pemeran Soe dalam
film Gie),”ujarnya sambil tersenyum tanpa merasa “berdosa”.
Soe Hok Gie memang telah lama pergi. sudah sekitar tahun ke 44, sang demonstran itu tiada akibat terbunuh gas
H2S di Gunung Semeru. Sementara kini abu jasadnya bisa jadi tengah berterbangan
ditiup semilir angin di Lembah Mandalawangi. Ya,tak ada yang tersisa darinya
tubuhnya, kecuali kenangan, harapan dan semangatnya yang akan terus menyala di
dada orang-orang yang telah bertekad untuk “meresapi panas dan hujan”.
"Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita
mengerti, tanpa kita bisa menawar terimalah dan hadapilah" tulis Soe dalam
sebuah puisi yang pernah ditulisnya: Mandalawangi-Pangrango.
Ya untuk soal hidup, konsistensi, kejujuran dan
rasa kasih tanpa sekat, saya pikir kita pantas belajar kepada Soe Hok Gie.
Oleh : @bungarynugraha
Aktifis HMI Cabang Pekanbaru
diterbitkan Oleh : Kitanews.co